Kamis, 22 November 2007

Berapa besar harga buah hati anda

Apa yang akan Anda jawab bila mendapat sebuah pertanyaan seperti judul di atas. Seberapa besar harga buah hati Anda? Secara refleks, kita mungkin akan menjawab dengan kalimat; sungguh tak ternilai. Atau ada kemungkinan, kita merasa tersinggung ketika pertanyaan tersebut kita dapatkan. Karena bagaimanapun, seorang anak, seorang buah hati tak mungkin disejajarkan dengan barang semahal apapun. Anak adalah belahan jiwa. Anak adalah aset yang paling berharga .Anak adalah segala-galanya. Bahkan bisa jadi, diantara kita akan menganggap pertanyaan tersebut sebagai “pertanyaan gila”.

Memang benar. Harga seorang anak, bagaimanapun tak mungkin sebanding dengan harga barang apapun yang ada di dunia. Tetapi, saudaraku. Mari kita sama-sama buka mata, buka hati dan buka telinga. Benarkah anak kita adalah tak ternilai? Benarkah anak kita adalah aset yang paling berharga?

Saya yakin, Anda sudah sangat familiar dengan kehidupan supermarket, hipermarket, mall, dan apapun nama pusat perbelanjaan lainnya. Di tempat-tempat yang sering dianggap surganya dunia itu, kita bisa banyak menemukan anak dari mulai usia bulanan hingga hampir tiga tahun disimpan di dalam kereta dorong, sehingga sang Ibu bisa lebih “khusuk” melihat-lihat setiap produk yang dijajakan tanpa harus repot menggendongnya. Ia tinggal mendorong roda, sambil melirik kesana kemari.

Dilihat dari efektivitas, tentu penggunaan kereta dorong jauh lebih praktis dibanding dengan menggendong secara manual. Bahkan ketika sang Ibu sedang memilih-milih dan mengambil barang dagangan pun tak harus direpotkan oleh beratnya beban si buah hati. Tetapi saudaraku, berapa juta kasih yang terbuang ketika anak kita harus kita dorong dalam sebuah kereta yang memanjakan dan memenjarakan itu. Ia tak bisa bebas bergerak. Ia tak merasakan hangat tubuh sang ibu. Ia tak merasakan esensi getar cinta dari sang pengandung dirinya ketika masih janin.

Memang sepele. Masalah kereta dorong.

Lain halnya dengan kereta dorong. Kali ini masalah televisi. Infoteinment dengan liputan lengkap para selebritinya, klimaks dari sebuah sinetron yang “bikin greget”, hasil kontes audisi yang membuat hati penasaran, seolah telah menjadi hidangan utama layar gelas Anda. Bahkan ketika harus menunaikan kewajiban seklaipun, banyak diantara kita yang harus merelakan diri membawa sayur ke ruangan dimana televisi disimpan. Sehingga dengan demikian, kita bisa tetap mengikuti alur cerita telenovella yang membuat hati gundah bila tertinggal satu episode pun. Parahnya, ketika kita tengah khusuk di depan bioskop kesayangn itu, lantas suatu saat buah hati kita mendekati, lalu ia bertanya tentang suatu hal. Dengan mata yang tetap terfokus pada layar, kita menagnggapi anak kita dengan kalimat yang sangat sederhana; Sebentar ya, Mama lagi tanggung nih.” Atau mungkin ada diantara kita yang pernah diminta oleh anak kita untuk membantu menyelesaikan PR. Dengan jawaban yang ringan pula, kita menanggapinya; “nanti kalau pas waktu iklan, ya.”

Mungkin terlalu berlebihan apa yang saya sampaikan tentang kisah ibu yang televisi maniak itu. Tetapi itulah kehidupan. Itulah potret keterbiusan. Itulah potret kecanduan. Itulah realitas. Itulah contoh konkret pemerkosaan hak anak. Itulah sebuah buki bahwa sang ornag tua telah lupa dengan suatu pengakuan yang telah dipegang teguh olehnya tentang pernyataan; “anak itu aset paling berharga. Anak itu tak ternilai.”

Bukan perkara kerete dorong. Bukan pula masalah televisi. Tetapi potret yang satu ini adalah sebuah potret ambisi. Suatu hari, anak sekira kelas empat SD memperlihatkan hasil belajarnya selama satu semester. Ia berikan buiku laporan pendidikan yang baru saja diterimanya kepada Ibunya. Dengan mata berbinar, Sang Ibu mulai membuka buku bersampul plastik warna merah itu. Beberapa detik kemudia, ekspresi Sang Ibu berubah seketika. Dengan wajah agak tak bersahabat, sang Ibu melontarkan sebuah pertanyaan yang sebetulnya tidak butuh jawaban; Kamu ini, ya. Jajan aja, pinter. Eee, rengking malah jeblok. Makanya, tuh mata pake belajar. Bukan maen PS. Sang anak hanya tertegun. Ia tidak tahu. Harus berbuat apa. Harus bagaimana. Karena itulah jerih payah yang telah ioa perjuangkan.

Kisah berikutnya adalah tentang gelas kristal. Karena saking penasaran, seornag anak yang telah diberi warning oleh ibunya untuk tidak memegang dan mempermainkan gelas yang terpajang di atas buffet –gelas kristal-, suatu hari secara perlahan menghampiri tempat dimana gelas itu berada. Ia pegang dan i raba. Baru saja ia mau mengambilnya, sang Ibu datang dari balik pintu dapur. Kontan sang anak yang baru berumur empat tahun itu terkaget dan akhirnya gelas yang sangat disayangi ibunya itu pecah berkeping-keping. Terang saja, sang ibu kesal karena gelas yang harganya melambung itu telah raib. Dan kata-kata kemarahan pun akhirnya termuntahkan dari mulutnya. Sementara sang anak, hanya terdiam kaku dan bergetar seluruh tubuhnya.

Memang sederhana. Bahkan sepele. Cerita tentang kereta dorong, tayangan televisi, rengking di sekolah hingga gelas kristal, memang suatu hal yang mungkin saja dikatakan berlebihan. Tetapi seklai lagi, itulah kehidupan. Itulah sebuah potret.

Bila kita mengeok para ahli pendidikan anak di negara-negara Barat seperti Maria Montessori, seorang doktor pertama perempuan Italy. Semangat hidupnya ia tumpahkan untuk dunia anak. Bahkan dengan sekolahnya yang sangat legendaris bernama Casa Dei Bembi seolah telah menjadi kiblat para ahli pendidikan anak di berbagai belahan dunia. Termasuk Indonesia. Prinsip kebebasan terbatas yang dimilikinya membuat para anak merasakan kesenangan yang luar biasa di sekolah. Anak-anak lebih ekspresif. Anak terlarut dalam suasana sekolah yang joyfull learning. Pun dengan para ahli pendidikan anak lainnya seperti Pestalozzi, Jean Piaget, John dewey, dan John Locke yang dikenal dengan teori Tabula rasanya yang menyatakan bahwa anak adalah selembar kertas putih yang masih bersih dan torehan tinta di atasnya akan mengindikasikan bagaimana cara kita mendidik dan membinanya.

Montessori hingga John Locke, merupakan para ahli yang sangat interest terhadap dunia anak. Begitu pula dengan Friderecick Wilhelm Froebel atau lebih familiar dengan sebutan Froebel. Froebel dikenal sebagai ayah dari pendidikan anak usia bayi dan sebagi pencetus kindergarten. Model rancangan sekolah ia buat telah mempengaruhi rancangan sekolah di seluruh dunia. Dan yang tak kalah interest yaitu seorang manusia teladan, Muhammad Saw. Betapa beliau telah mencontohkan kepada ummat tentang bagaiman beliau mmperlakukan seornag anak. Bahkan untuk hukuman saja beliau sangat proporsional. Atas dasar apa anak haruis dipukul dan pada saat kapan anak boleh menerima pukulan. Lalu pukulan seperti apakah yang layak diberikan oleh ornag tua. Sungguh aturannya telah tertata dengan rapi. Bahkan dalam mengajak canda pun, telah beliau ajarkan. Bagaimana beliau mengajak cucu-cucunya bermain. Bagaimana beliau berkata-kata. Sungguh teratur dan terjaga.

Lalu bagaimana dengan kita. Terkadang kita benar-benar lupa dengan pengakuan yang telah kita ikrarkan bahwa anak kita itu tak ternilai harganya. Tetapi pada kenyataanya, untuk menggendongnya saja kita sudah menyerahkan sepenuhnya kepada kereta dorong. Untuk mengajarkan jalan saja sudah tak punya kesempatan karena kereta dorong telah menjadi segala-galanya. Belum lagi gengsi yang harus dinomorsatukan. Karena dengan membawa anak dalam kereta dorong berarti menunjukkan indikasi bahwa keberadaan finansialnya pun memang mumpuni. Pun dengan tayangan televisi yang telah menghipnotis itu. Hak dan keinginan anak harus terabaikan. Kreativitasnya tak sempat kita eksplorasi. Demikian pula dengan rangking yang diraih anak kita di sekolah. Seolah-olah, kita adalah orang tua yang berpandangan bahwa rangking kelas adalah satu-satunya indikator keberhasilan anak. Bahkan kita telah menjadi orang tua yang terlalu berorientasi pada hasil. Bukan pada proses. Kemudian tentang gelas kristal pun tak jauh beda. Seolah-olah, kita lebih menyayangi benda daripada anak. Pada gelas kristal itu hanya sekadar pajangan. Tetapi rasa sayang terhadap gelas tersebut terlalu berlebih dan ketidakbolehan kita pada anak terlalu menghambur –walaupun pada dasarnya larangan kepada anak bukanlah satu-satunya yang tidak boleh kita lakukan, karena bagaimanapun pencegahan atau larangan itu wajar adanya selama larangan yang kita isyaratkan itu demi keselamatan anak dan keselamatn kita juga-.

Anak memang merupkan pribadi yang unik. Ada berjuta gagasan cerdas yang muncul dari otak jeniusnya. Ada beribu pertanyaan menarik yang tersimpan didalam benaknya. Ada bermilyar pengetahuan yang terekam dalam memorinya. Sungguh pribadi itu suatu anugrah yang sangat berharga. Tetapi keproporsionalan kita dalam menghadapinya merupakan suatu hal yang niscaya. Bahkan Allah Yang Maha Bijaksana telah mengeksplisitkan sebuah firman: Katakanlah: "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik. (At-Taubah: 24)

Jadi, masihkah kita beranggapan bahwa anak kita tak ternilai harganya, walaupun pernyatan tersebut jelas-jelas sebuah kalimat yang ambigu. Walloohu ‘alam bish showaab.

smilesmilesmile

Tidak ada komentar:

Posting Komentar